Dalam sepekan terakhir, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan hebat hingga sempat terkena trading halt, mekanisme penghentian sementara perdagangan untuk mencegah penurunan yang terlalu tajam.
Kejadian ini mengingatkan pada situasi saat pandemi Covid-19 melanda pada 2020, ketika pasar mengalami panic selling saham yang besar. Hal ini pun menimbulkan kekhawatiran dengan kondisi pasar saham kedepannya.
Di sisi lain, pasar global juga menghadapi tekanan serupa (walau tidak sedalam IHSG). Indeks S&P 500 di Amerika Serikat tercatat melemah sekitar 3-4% sejak awal tahun, menunjukkan bahwa ketidakpastian tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di tingkat global.
Dengan kondisi seperti ini, muncul kekhawatiran di kalangan investor. Apakah ini hanya koreksi sementara atau awal dari tren penurunan yang lebih dalam?
Yuk, kita bahas lebih lanjut di artikel ini!
Kenapa IHSG Anjlok?
Sejak awal tahun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus menunjukkan tren bearish. Pada 21 Maret 2025, IHSG ditutup di level 6.258,18, turun 1,94% dibandingkan hari sebelumnya.
Secara kumulatif, indeks telah melemah 11,61% sepanjang tahun ini, dengan aksi jual bersih investor asing mencapai Rp 33,18 triliun.
Lantas, apa yang menjadi pemicu anjloknya IHSG? Berikut beberapa faktor utama yang berperan dalam tekanan pasar:
1. Penurunan Peringkat Investasi oleh Institusi Asing
Beberapa institusi keuangan besar seperti Goldman Sachs menurunkan peringkat investasi Indonesia. Hal ini memicu aksi jual saham besar-besaran oleh investor asing yang mengurangi eksposur mereka di pasar modal Indonesia.
Penurunan peringkat ini umumnya didasarkan pada indikator makroekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas fiskal, dan prospek investasi.
2. Ketidakpastian Kebijakan Fiskal dan Moneter
Ketidakpastian terkait pengeluaran pemerintah, pemotongan anggaran, serta pembatalan rencana kenaikan pajak meningkatkan kekhawatiran investor terhadap stabilitas fiskal Indonesia.
Tanpa adanya kepastian dalam kebijakan fiskal, investor cenderung memilih untuk menarik modal mereka dan mengalihkannya ke aset yang lebih stabil.
3. Penguatan Dolar AS dan Kenaikan Yield Obligasi AS
Kebijakan suku bunga tinggi yang diterapkan oleh Federal Reserve menyebabkan penguatan Dolar AS. Hal ini mendorong investor global menarik dana mereka dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Selain itu, kenaikan yield obligasi AS membuat instrumen investasi berbasis rupiah menjadi kurang menarik.
Dengan yield Treasury AS yang mencapai 4,5%, banyak investor institusional lebih memilih untuk menempatkan dananya di instrumen yang lebih aman dibandingkan saham di pasar negara berkembang.
Kenapa S&P 500 Koreksi?
Tidak hanya IHSG, pasar saham global juga menghadapi tekanan. Indeks S&P 500 di Amerika Serikat mengalami koreksi sekitar 3-4% sejak awal tahun.
Beberapa faktor yang memicu pelemahan ini antara lain:
1. Ketidakpastian Kebijakan Tarif Dagang
Pemerintahan Presiden Donald Trump kembali menerapkan kebijakan tarif perdagangan yang agresif, meningkatkan ketidakpastian di pasar. Peningkatan tarif pada impor dari Eropa dan China meningkatkan kekhawatiran akan perang dagang global yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi AS.
2. Ancaman Stagflasi
The Fed telah menaikkan proyeksi inflasi sekaligus menurunkan ekspektasi pertumbuhan ekonomi. Ini meningkatkan risiko stagflasi, yaitu kondisi di mana inflasi tinggi terjadi bersamaan dengan perlambatan ekonomi, yang menjadi kabar buruk bagi pasar saham.
3. Ketidakpastian Kebijakan Moneter
Meskipun The Fed mempertahankan suku bunga saat ini, mereka mengindikasikan bahwa pemangkasan suku bunga mungkin tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Ketidakpastian mengenai arah kebijakan moneter telah menciptakan ketidakstabilan di pasar saham.
Kapan IHSG dan S&P 500 Bisa Bangkit Kembali?
Di tengah ketidakpastian pasar, banyak investor bertanya-tanya: kapan IHSG dan S&P 500 bisa kembali naik?
Ada baiknya kita menunggu beberapa sinyal pemulihan yang dapat menjadi indikator bahwa kondisi pasar mulai stabil dan siap untuk bangkit kembali.
Berikut beberapa faktor utama yang perlu diperhatikan sebelum IHSG dan S&P 500 kembali mengalami tren kenaikan:
1. Kembalinya Arus Dana Asing dan Kejelasan Program Pemerintah
IHSG saat ini tertekan oleh aksi jual besar-besaran investor asing. Jika arus dana asing kembali masuk, terutama ke sektor perbankan, ini bisa menjadi sinyal positif bagi pemulihan pasar.
Namun, untuk menarik kembali kepercayaan investor, pemerintah perlu menerapkan kebijakan ekonomi yang lebih pro-investasi. Insentif pajak, stimulus fiskal, serta perencanaan program ekonomi yang matang akan sangat membantu.
Sayangnya, beberapa kebijakan seperti pembentukan Danantara, perbaikan sistem Coretax, dan koperasi Merah Putih terkesan terburu-buru dan tanpa perhitungan matang, sehingga menambah beban bagi sektor-sektor utama, termasuk perbankan.
Selain itu, komunikasi yang kurang terarah dari pejabat publik di media massa semakin memperburuk sentimen. Ketidakpastian ini membuat banyak pihak skeptis terhadap arah kebijakan ekonomi ke depan.
2. Kebijakan The Fed Terkait Suku Bunga
The Federal masih mempertahankan suku bunga tinggi untuk mengendalikan inflasi, yang menyebabkan penguatan dolar dan keluarnya modal asing dari pasar negara berkembang.
Jika The Fed memberikan indikasi jelas bahwa mereka akan memangkas suku bunga, maka aset berisiko seperti saham di emerging markets akan kembali menarik perhatian investor global.
3. Stabilitas Rupiah terhadap Dolar AS
Penguatan dolar AS akibat kenaikan suku bunga membuat rupiah melemah dan memperburuk sentimen investor di Indonesia. Hingga saat ini penguatan rupiah belum menunjukkan tanda-tanda.
Jika rupiah menunjukkan stabilitas terhadap dolar AS, maka tekanan terhadap pasar saham Indonesia bisa mereda, dan IHSG berpotensi mengalami rebound. Kita berharap penurunan suku bunga The Fed dapat direalisasikan secepatnya.
4. Redanya Ketidakpastian Geopolitik dan Perang Dagang
Kebijakan tarif dan perang dagang antara AS dan negara mitra seperti China serta Uni Eropa masih menjadi faktor risiko yang membayangi pasar global.
Jika ada kesepakatan dagang baru atau kebijakan yang lebih longgar terkait perdagangan global, ini dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap saham-saham berbasis ekspor di AS maupun Indonesia.
Hingga saat ini, faktor utama yang menekan IHSG dan S&P 500 adalah kebijakan suku bunga tinggi serta ketidakpastian akibat perang dagang. Sayangnya, belum ada tanda-tanda perbaikan dalam waktu dekat. Jika kedua faktor ini membaik, maka pasar saham berpotensi kembali pulih.
Semoga badai ini cepat berlalu, dan kita bisa kembali fokus membangun strategi investasi yang lebih solid!
Leave a Reply